A. Latar belakang sejarah NKRI
Sejarah negeri jamrud khatulistiwa dengan
ribuan pulau dan bentangan lautnya yang membiru ini, baik sebelum merdeka
maupun sesudah merdeka tercatat dengan berbagai peristiwa besar, kecil, pasang
surut dalam berbagai masa. Negeri ini
punya masa-masa jayanya terutama di masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Akan
tetapi ketika wilayah ini dijajah oleh berbagai bangsa dari negeri maca, dan
dihisap semua kekayaan alamnya, dan diperdayakan semua penduduknya maka
bangkitlah perlawanan dari seluruh pelosok negeri silih berganti bagaikan api
nan tak kunjung padam. Perlawanan bangkit dimana-mana, menaburkan benih
kepahlawanan di seluruh persada nusantara. Hasanudin, Sultan Agung, Pangeran
Diponegoro, Imam Bonjol, Sultan Ageng Tirtayasa, Pattimura, Teuku Umar, Cut
Nyak Dien dan lain-lain tak terbilang banyaknya adaalah pahlwan-pahlawan kusuma
bangsa yang dengan gagah berani menyabung nyawa melawan penjajah.
Pergerakan nasional yang muncul di
sekitar tahun 1908, menyadarkan rakyat bangsa ini akan perlunya membangun
sebuah negara merdeka dan menjadi tuan di negeri sendiri. Perjuangani ini
berhasil membangun semangat persatuan dan kesatuan melalui sumpah pemuda tahun
1928, serta rasa kebangsaan, rasa nasionalisme, cinta tanah air dan bangsa dan
terus berjuang sampai titik darah penghabisan dengan semangat merdeka atau
mati.
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan anugerahNya berupa kemerdekaan kepada bangsa ini. Tanggal 17
Agustus 1945 merupakan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dengan membentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang wilayahnya dari Sabang sampai
Merauke. Proklamasi itu disambut oleh seluruh rakyat di setiap pelosok negeri
dengan rasa gegap gempita, bersatu padu dan bertekad untuk mengawal Negara
Proklamasi tersebut.
Akan tetapi persoalan belum selesai
sampai di sini. Walaupun negeri ini sudah merdeka di tahun 1945, ternyata
ancaman masih datang silih berganti. Ancaman tersebut datang dari luar maupun
dari dalam negeri sendiri. Ancaman dari luar negara membuat Negara proklamasi
yang masih baru itu nyaris tamat riwayatnya. Perang kemerdekaan yang terjadi
setelah proklamsi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 baru dapat berakhir tahun
1949 setelah diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember
1949.
Perang kemerdekaan itu terjadi selang
dua bulan saja dari Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, tepatnya mulai
anggal 15 Oktober 1945 yang disebut
dengan pertempuran Lima Hari di Semarang melawan tentara Inggris. Kemudian
menyusul pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya melawan Inggris dan Belanda,
dan selanjutnya dikenal dengan Hari Pahlawan. Pertempuran melawan Inggris terus
terjadi secara berturut-turut di seluruh
pelosok tanah air, yaitu pada tanggal 21 November 1945 disebut Palagan Ambarawa, Medan Area pada
tanggal 10 Desember1945, Kerawang Bekasi pada tanggal 19 Desember 1945, Bandung
Lautan Api tanggal 23 Maret 1946, Puputan Margarana tanggal 29 November 1946 melawan Belanda, Pembantaian penduduk Makassar
oleh Westerling pada 7 Desember 1946, dan Palagan Palembang pada tanggal 1
Januari 1947 melawan Inggris.
Perang melawan Belanda yang terkenal
dengan nama Agresi Militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947 berhasil
menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia Merdeka, dan hanya menyisakan
sedikit wilayah Indonesia Merdeka yaitu sebagian Sumatera Selatan dan
Yogyakarta. Oleh karena itu pada tanggal 4 Februari 1948 seluruh kekuatan
militer ditarik untuk hijrah ke Yogyakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia.
Yogyakarta ditunjuk sebagai ibu kota Republik Indonesia menggantikan Jakarta
itu ditetapkan sejak tanggal 4 Januari 1946 untuk menghindari situasi keamanan
yang saat itu mulai tidak kondusif. Akan tetapi pada tanggal 19 Desember 1948
ibu kota Republik Indonesia yang masih baru dipindahkan itupun diserang Belanda
yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda II. Presiden dan para menterinya tertawan Belanda dan
diasingkan ke Bengkulu. Selanjutnya Belanda menyatakan bahwa Negara Republik
Indonesia itu sudah tiada. Musuh dari luar ini akhirnya di selesaikan melalui
Konferensi Meja Bundar tanggal 27 Desember 1949.
Ancaman
dari dalam negeri juga tidak kalah serunya. Disaat bangsa dan seluruh kekuatan
dikerahkan untuk memenangkan perang melawan Inggris dan Belanda sebagian bangsa
kita yang tidak bertanggung jawab berkhianat kepada bangsa dan Negara Republik
Indonesia dengan melakukan pemberontakan. Pemberontakan tersebut dimulai dari
pemberontakan PKI Madiun pada tangga 18
September 1948 di bawah pimpinan Semaun, Alimin, Muso, dan Darsono. SM
Kartosuwiryo di Jawa Barat memproklamasikan berdirinya NII dengan membentuk
tentara yang disebut DI/TII pada tanggal 7 Agustus 1949. Pada tanggal 23
Januari 1950 terjadi pemberontakan APRA
di Bandung di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling dan melibatkan Sultan
Hamid II. Selanjutnya muncul pemberontakan Andi Azis di Makasar pada tanggal 5
April 1950, pemberontakan Soumukil
dengan mendirikan negara baru Republik Maluku Selatan (RMS) pada tanggal 25
April 1950, pemberontakan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan pada tanggal 10
Oktober 1950, pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan pada tanggal 17
Agustus 1951, pemberontakan Daud Beureueh dengan mendirikan NII dan DI/TII di Aceh pada tanggal 20 September 1955. Pemberontakan G30S/PKI pada tanggal 30
September 1965 merupakan pengkhianatan terhadap bangsa dan Negara Republik
Indonesia yang kedua kalinya. Semua pemberontakan tersebut pada dasarnya
dilatarbelakangi oleh paham sparatisme, primordialisme dan kepentingan pribadi
untuk memperoleh kekuasaan melalui cara-cara yang inkonstitusional serta
pengkhianatan terhadap bangsa dan negara proklamsi.
Sampai sekarang
gerakan sparatisme, primordialisme dan mengutamakan kepentingan pribadi maupun
golongan masih terus terjadi seperti GAM, RMS dan OPM dan dimungkinkan akan
tetap merupakan ancaman yang serius terhadap keutuhan dan kelangsungan hidup Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Latar
belakang sejarah bangsa kita di masa lalu itu merupakan suatu pendidikan yang
sangat mahal dan sangat berharga. Dari sejarah tersebut dapat diketahui pasang
surutnya suatu bangsa atau negara. Negara yang tidak didukung sepenuhnya oleh
rakyatnya hanya akan menjadi negara yang terpecah belah. Negara yang kuat perlu
didukung seluruh rakyatnya. Sejalan dengan hal ini dipandang perlu diselenggarakan
suatu pendidikan untuk membangun bangsa dan negara Indonesia yang kuat,
memiliki semangat nasionalisme, cinta tanah air dan bangsa, menjunjung tinggi persatuan
dan kesatuan yang pada akhirnya melahirkan bangsa yang berbudaya dan maju (nation and character building).
Pendidikan kewarganegaraan (Citizenship
Education) diselenggarakan di sekolah dengan maksud untuk mengembangkan
pendidikan yang mampu memajukan bangsa dan negara, meningkatkan semangat
nasionalisme, patriotik, cinta tanah air dan bangsa.
B. Pengertian
Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan (PKn) dalam
bahasa asing bisa disebut dengan istilah Citizenship
Education. Sebagai mata pelajaran, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
merupakan suatu mata pelajaran yang relatif baru dibandingkan dengan mata pelajaran
lainnya yaitu mulai sejak diperlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
tahun 2004.
Menurut kurikulum tahun 2004 tersebut,
Pendidikan Kewarganegaraan didefinisikan sebagai mata pelajaran yang
memfokuskan pada pembentukan warga negara yang baik, yaitu warga negara yang 1.
Memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga Negara;
2. Cerdas, terampil dan berkarakter mulia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Sedangkan Pendidikan Kewargaan Negara (PKN)
yang dalam istilah asing civics atau
biasa juga disebut civic education.
Sebagai mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) pernah diajarkan di
Indonesia, terutama pada sekitar tahun 1968. Materi yang diajarkan adalah
berkenaan dengan pemerintahan, sejarah Indonesia dan Konstitusi Republik Indonesia termasuk UUD 1945, serta
pengetahuan tentang kewargaan negara.
Beberapa literatur ditemukan pebedaan
pengertian mengenai Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) atau Civic Education. Chresore dalam Dasim Budimansyah dan Karim Suryadi
(2008), mengatakan bahwa civic merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
hubungan antar individu dengan negara. Menurut Cogan (1999), pendidikan kewargaan negara atau Civic Education merupakan mata pelajaran dasar yang dirancang untuk
mempersiapkan para pemuda warga negara untuk dapat melakukan peran aktif dalam
masyarakat.
Sementara Somantri dan Winataputra,
berpendapat bahwa antara Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) atau Civic Education dan Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn) atau Citizenship Education adalah
sama. Pendapat ini tidaklah berlebihan karena secara epistemology antara civic dan Citizenship Education di Amerika memiliki sejarah yang sama. Namun
di Indonesia keduanya memiliki perbedaan. Selanjutnya Winataputra mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan Kewargaan Negara (Civic
Education) atau pendidikan
kewarganegaraan (Citizenship Education) adalah studi tentang pemerintahan yang
dilaksanakan di sekolah, yang merupakan mata pelajaran tentang bagaimana
pemerintahan demokrasi dilaksanakan dan dikembangkan, serta bagaimana
seyogyanya melaksanakan hak dan kewajibannya secara sadar dan penuh rasa
tanggung jawab. Sedangkan tujuan pembelajaran Pendidikan Kewargaan Negara (PKN)
atau Civic Education yaitu
mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan sehingga siswa menjadi warga
negara yang baik, melalui pengalaman belajar yang dipilih dan diorganisasikan atas
dasar konsep konsep ilmu politik.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dan
melihat pelaksanaan Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) atau mata pelajaran civic
di masa lalu, maka Pendidikan Kewargaan Negara(PKN) atau civic dalam hal ini
diartikan sebagai mata pelajaran yang mempelajari status formal warga negara.
Status formal warga negara diatur dalam a. UU no. 2 th. 1949 tentang tatacara
pemerolehan status warga negara; b. UU
no. 62 th. 1958 tentang WNI dan SKBRI; dan c. UU no. 12 th. 2006 tentang
kewarganegaraan.
C. Fungsi
Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Berdasarkan kurikulum tahun
2004, ada tiga fungsi pokok Pendidikan kewarganegaraan (PKn), yaitu :
1.
Menumbuhkan
komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan NKRI
Komitmen
kuat dan konsisten untuk mempertahankan NKRI perlu terus dikembangkan terutama
kepada generasi muda sedini mungkin melalui mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) ini, mengingat bahwa latar belakang sejarah negeri kita
ini penuh dengan ancaman, gangguan dan pemberontakan-pemberontakan di masa
lalu. Ke depan kita ingin hidup aman, tenteram dan damai, adil dan makmur dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.
Menumbuhkan
semangat kebangsaan atau nasionalisme untuk membangun masa depan yang lebih
baik.
Negeri kita
termasuk negeri yang rawan dilihat dari segala aspek, terutama dari aspek
geografis, geostrategis dan dari aspek sosial budaya.
Aspek
geografis,negeri kita terdiri dari beribu-ribu pulau, satu dengan lainnya
terpisahkan oleh laut-laut. Dengan kata lain negeri kita rawan dari segala
sisinya terhadap berbagai ancaman dan gangguan yang datang dari dalam maupun
dari luar.
Aspek
geostrategis, negeri kita diapit oleh dua lautan dan dua benua yang memiliki
ideologi, budaya dan perilaku dan penguasaan teknologi yang berbeda. Ini semua
merupakan kerawanan yang dapat berupa ancaman, gangguan dan tantangan.
Aspek
sosial budaya, di samping perbedaan sosial budaya merupakan kekayaan bangsa
tetapi juga dapat merupakan kerawanan, yang sewaktu-waktu dapat merupakan
penyebab terjadinya keributan, kekacauan dan bahkan bencana karena adanya
perbedaan tersebut.
Masa depan
negeri kita tidak boleh terus menerus dilanda kerusuhan, ketidakpastian,
kekacauan dan sebagainya. Ke depan negeri kita harus lebih baik,aman, tenteram
dan damai, maju, adil dan makmur. Berdasarkan aspek-aspek tersebut di atas
melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) inilah perlu
ditumbuhkan semangat kebangsaan, nasionalisme, persatuan serta semangat cinta
tanah air dan bangsa untuk menjaga keutuhan NKRI.
3.
Menumbuhkan
kecerdasan warga negara (civics
intelligent), keterampilan warga negara (civics skills) dan partisipasi warga negara (civic participation).
Pembelajaran
mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn) harus mampu menghasilkan kecerdasan warga negara (civic intelligent), keterampilan warga
negara (civics skills), dan
partisipasi warga negara (civics
participation). Negeri kita ini
sangat memerlukan warga negara yang cerdas, terampil, dan mampu berpartisipasi
dalam membangun bangsa. Dengan kata lain, apabila setiap warga negara kita
memiliki kecerdasan, keterampilan dan partisipasi tersebut, maka negara kita
akan maju, dan dapat bersaing dengan negara lain di dunia, tanpa harus menjadi
bangsa yang dilecehkan oleh negara lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar