Sabtu, 28 Juni 2014

LATAR BELAKANG DAN HAKIKAT MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN



A.  Latar belakang sejarah NKRI
Sejarah negeri jamrud khatulistiwa dengan ribuan pulau dan bentangan lautnya yang membiru ini, baik sebelum merdeka maupun sesudah merdeka tercatat dengan berbagai peristiwa besar, kecil, pasang surut dalam berbagai masa.  Negeri ini punya masa-masa jayanya terutama di masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Akan tetapi ketika wilayah ini dijajah oleh berbagai bangsa dari negeri maca, dan dihisap semua kekayaan alamnya, dan diperdayakan semua penduduknya maka bangkitlah perlawanan dari seluruh pelosok negeri silih berganti bagaikan api nan tak kunjung padam. Perlawanan bangkit dimana-mana, menaburkan benih kepahlawanan di seluruh persada nusantara. Hasanudin, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Sultan Ageng Tirtayasa, Pattimura, Teuku Umar, Cut Nyak Dien dan lain-lain tak terbilang banyaknya adaalah pahlwan-pahlawan kusuma bangsa yang dengan gagah berani menyabung nyawa melawan penjajah.

Pergerakan nasional yang muncul di sekitar tahun 1908, menyadarkan rakyat bangsa ini akan perlunya membangun sebuah negara merdeka dan menjadi tuan di negeri sendiri. Perjuangani ini berhasil membangun semangat persatuan dan kesatuan melalui sumpah pemuda tahun 1928, serta rasa kebangsaan, rasa nasionalisme, cinta tanah air dan bangsa dan terus berjuang sampai titik darah penghabisan dengan semangat merdeka atau mati.
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan anugerahNya berupa kemerdekaan kepada bangsa ini. Tanggal 17 Agustus 1945 merupakan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dengan membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang wilayahnya dari Sabang sampai Merauke. Proklamasi itu disambut oleh seluruh rakyat di setiap pelosok negeri dengan rasa gegap gempita, bersatu padu dan bertekad untuk mengawal Negara Proklamasi tersebut.
Akan tetapi persoalan belum selesai sampai di sini. Walaupun negeri ini sudah merdeka di tahun 1945, ternyata ancaman masih datang silih berganti. Ancaman tersebut datang dari luar maupun dari dalam negeri sendiri. Ancaman dari luar negara membuat Negara proklamasi yang masih baru itu nyaris tamat riwayatnya. Perang kemerdekaan yang terjadi setelah proklamsi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 baru dapat berakhir tahun 1949 setelah diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949.
Perang kemerdekaan itu terjadi selang dua bulan saja dari Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, tepatnya mulai anggal 15 Oktober 1945  yang disebut dengan pertempuran Lima Hari di Semarang melawan tentara Inggris. Kemudian menyusul pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya melawan Inggris dan Belanda, dan selanjutnya dikenal dengan Hari Pahlawan. Pertempuran melawan Inggris terus terjadi secara berturut-turut  di seluruh pelosok tanah air, yaitu pada tanggal 21 November  1945 disebut Palagan Ambarawa, Medan Area pada tanggal 10 Desember1945, Kerawang Bekasi pada tanggal 19 Desember 1945, Bandung Lautan Api tanggal 23 Maret 1946, Puputan Margarana tanggal 29 November 1946  melawan Belanda, Pembantaian penduduk Makassar oleh Westerling pada 7 Desember 1946, dan Palagan Palembang pada tanggal 1 Januari 1947 melawan Inggris.
Perang melawan Belanda yang terkenal dengan nama Agresi Militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947 berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia Merdeka, dan hanya menyisakan sedikit wilayah Indonesia Merdeka yaitu sebagian Sumatera Selatan dan Yogyakarta. Oleh karena itu pada tanggal 4 Februari 1948 seluruh kekuatan militer ditarik untuk hijrah ke Yogyakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia. Yogyakarta ditunjuk sebagai ibu kota Republik Indonesia menggantikan Jakarta itu ditetapkan sejak tanggal 4 Januari 1946 untuk menghindari situasi keamanan yang saat itu mulai tidak kondusif. Akan tetapi pada tanggal 19 Desember 1948 ibu kota Republik Indonesia yang masih baru dipindahkan itupun diserang Belanda yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda II. Presiden dan para menterinya tertawan Belanda dan diasingkan ke Bengkulu. Selanjutnya Belanda menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia itu sudah tiada. Musuh dari luar ini akhirnya di selesaikan melalui Konferensi Meja Bundar tanggal 27 Desember 1949.
Ancaman dari dalam negeri juga tidak kalah serunya. Disaat bangsa dan seluruh kekuatan dikerahkan untuk memenangkan perang melawan Inggris dan Belanda sebagian bangsa kita yang tidak bertanggung jawab berkhianat kepada bangsa dan Negara Republik Indonesia dengan melakukan pemberontakan. Pemberontakan tersebut dimulai dari pemberontakan PKI Madiun pada tangga 18  September 1948 di bawah pimpinan Semaun, Alimin, Muso, dan Darsono. SM Kartosuwiryo di Jawa Barat memproklamasikan berdirinya NII dengan membentuk tentara yang disebut DI/TII pada tanggal 7 Agustus 1949. Pada tanggal 23 Januari 1950  terjadi pemberontakan APRA di Bandung di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling dan melibatkan Sultan Hamid II. Selanjutnya muncul pemberontakan Andi Azis di Makasar pada tanggal 5 April 1950, pemberontakan  Soumukil dengan mendirikan negara baru Republik Maluku Selatan (RMS) pada tanggal 25 April 1950, pemberontakan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan pada tanggal 10 Oktober 1950, pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan pada tanggal 17 Agustus 1951, pemberontakan Daud Beureueh dengan mendirikan NII dan DI/TII  di Aceh pada tanggal 20 September 1955.  Pemberontakan G30S/PKI pada tanggal 30 September 1965 merupakan pengkhianatan terhadap bangsa dan Negara Republik Indonesia yang kedua kalinya. Semua pemberontakan tersebut pada dasarnya dilatarbelakangi oleh paham sparatisme, primordialisme dan kepentingan pribadi untuk memperoleh kekuasaan melalui cara-cara yang inkonstitusional serta pengkhianatan terhadap bangsa dan negara proklamsi.
Sampai sekarang gerakan sparatisme, primordialisme dan mengutamakan kepentingan pribadi maupun golongan masih terus terjadi seperti GAM, RMS dan OPM dan dimungkinkan akan tetap merupakan ancaman yang serius terhadap keutuhan dan kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Latar belakang sejarah bangsa kita di masa lalu itu merupakan suatu pendidikan yang sangat mahal dan sangat berharga. Dari sejarah tersebut dapat diketahui pasang surutnya suatu bangsa atau negara. Negara yang tidak didukung sepenuhnya oleh rakyatnya hanya akan menjadi negara yang terpecah belah. Negara yang kuat perlu didukung seluruh rakyatnya. Sejalan dengan hal ini dipandang perlu diselenggarakan suatu pendidikan untuk membangun bangsa dan negara Indonesia yang kuat, memiliki semangat nasionalisme, cinta tanah air dan bangsa, menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan yang pada akhirnya melahirkan bangsa yang berbudaya dan maju (nation and character building). Pendidikan kewarganegaraan (Citizenship Education) diselenggarakan di sekolah dengan maksud untuk mengembangkan pendidikan yang mampu memajukan bangsa dan negara, meningkatkan semangat nasionalisme, patriotik, cinta tanah air dan bangsa.

B.  Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan (PKn) dalam bahasa asing bisa disebut dengan istilah Citizenship Education. Sebagai mata pelajaran, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan suatu mata pelajaran yang relatif baru dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya yaitu mulai sejak diperlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004.
Menurut kurikulum tahun 2004 tersebut, Pendidikan Kewarganegaraan didefinisikan sebagai mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang baik, yaitu warga negara yang 1. Memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga Negara; 2. Cerdas, terampil dan berkarakter mulia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Sedangkan Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) yang dalam istilah asing civics atau biasa juga disebut civic education. Sebagai mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) pernah diajarkan di Indonesia, terutama pada sekitar tahun 1968. Materi yang diajarkan adalah berkenaan dengan pemerintahan, sejarah Indonesia dan Konstitusi  Republik Indonesia termasuk UUD 1945, serta pengetahuan tentang kewargaan  negara.
Beberapa literatur ditemukan pebedaan pengertian mengenai Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) atau Civic Education. Chresore dalam Dasim Budimansyah dan Karim Suryadi (2008), mengatakan bahwa civic merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hubungan antar individu dengan negara. Menurut Cogan (1999), pendidikan kewargaan  negara atau Civic Education merupakan mata pelajaran dasar yang dirancang untuk mempersiapkan para pemuda warga negara untuk dapat melakukan peran aktif dalam masyarakat.
Sementara Somantri dan Winataputra, berpendapat bahwa antara Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) atau Civic Education dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) atau Citizenship Education adalah sama. Pendapat ini tidaklah berlebihan karena secara epistemology antara civic dan Citizenship Education di Amerika memiliki sejarah yang sama. Namun di Indonesia keduanya memiliki perbedaan. Selanjutnya Winataputra mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Kewargaan Negara (Civic Education)  atau pendidikan kewarganegaraan (Citizenship Education)  adalah studi tentang pemerintahan yang dilaksanakan di sekolah, yang merupakan mata pelajaran tentang bagaimana pemerintahan demokrasi dilaksanakan dan dikembangkan, serta bagaimana seyogyanya melaksanakan hak dan kewajibannya secara sadar dan penuh rasa tanggung jawab. Sedangkan tujuan pembelajaran Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) atau Civic Education yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan sehingga siswa menjadi warga negara yang baik, melalui pengalaman belajar yang dipilih dan diorganisasikan atas dasar konsep konsep ilmu politik.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dan melihat pelaksanaan Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) atau mata pelajaran civic di masa lalu, maka Pendidikan Kewargaan Negara(PKN) atau civic dalam hal ini diartikan sebagai mata pelajaran yang mempelajari status formal warga negara. Status formal warga negara diatur dalam a. UU no. 2 th. 1949 tentang tatacara pemerolehan status warga negara;  b. UU no. 62 th. 1958 tentang WNI dan SKBRI; dan c. UU no. 12 th. 2006 tentang kewarganegaraan.

C.  Fungsi Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Berdasarkan kurikulum tahun 2004, ada tiga fungsi pokok Pendidikan kewarganegaraan (PKn), yaitu :
1.        Menumbuhkan komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan NKRI
Komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan NKRI perlu terus dikembangkan terutama kepada generasi muda sedini mungkin melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) ini, mengingat bahwa latar belakang sejarah negeri kita ini penuh dengan ancaman, gangguan dan pemberontakan-pemberontakan di masa lalu. Ke depan kita ingin hidup aman, tenteram dan damai, adil dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.        Menumbuhkan semangat kebangsaan atau nasionalisme untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Negeri kita termasuk negeri yang rawan dilihat dari segala aspek, terutama dari aspek geografis, geostrategis dan dari aspek sosial budaya.
Aspek geografis,negeri kita terdiri dari beribu-ribu pulau, satu dengan lainnya terpisahkan oleh laut-laut. Dengan kata lain negeri kita rawan dari segala sisinya terhadap berbagai ancaman dan gangguan yang datang dari dalam maupun dari luar.
Aspek geostrategis, negeri kita diapit oleh dua lautan dan dua benua yang memiliki ideologi, budaya dan perilaku dan penguasaan teknologi yang berbeda. Ini semua merupakan kerawanan yang dapat berupa ancaman, gangguan dan tantangan.
Aspek sosial budaya, di samping perbedaan sosial budaya merupakan kekayaan bangsa tetapi juga dapat merupakan kerawanan, yang sewaktu-waktu dapat merupakan penyebab terjadinya keributan, kekacauan dan bahkan bencana karena adanya perbedaan tersebut.
Masa depan negeri kita tidak boleh terus menerus dilanda kerusuhan, ketidakpastian, kekacauan dan sebagainya. Ke depan negeri kita harus lebih baik,aman, tenteram dan damai, maju, adil dan makmur. Berdasarkan aspek-aspek tersebut di atas melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) inilah perlu ditumbuhkan semangat kebangsaan, nasionalisme, persatuan serta semangat cinta tanah air dan bangsa untuk menjaga keutuhan NKRI.

3.        Menumbuhkan kecerdasan warga negara (civics intelligent), keterampilan warga negara (civics skills) dan partisipasi warga negara (civic participation).
Pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan  (PKn) harus mampu menghasilkan kecerdasan warga negara (civic intelligent), keterampilan warga negara (civics skills), dan partisipasi warga negara (civics participation).  Negeri kita ini sangat memerlukan warga negara yang cerdas, terampil, dan mampu berpartisipasi dalam membangun bangsa. Dengan kata lain, apabila setiap warga negara kita memiliki kecerdasan, keterampilan dan partisipasi tersebut, maka negara kita akan maju, dan dapat bersaing dengan negara lain di dunia, tanpa harus menjadi bangsa yang dilecehkan oleh negara lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar